PER[T]EMPU[R]AN

Buku bersampul putih dengan gambar perempuan itu, terlihat begitu manis. Tampilan manis sampul buku ini seakan begitu cocok jika menjadi “pintu masuk” untuk sebuah kumpulan puisi. Kita masuk, membaca larik demi larik, seperti sedang melakukan perjalanan dalam lorong yang menuju ruang makna. Dan sampul buku putih-manis ini, menjadi pintu yang cukup bagus untuk mengawali perjalanan kita.

Keunikan buku ini bisa langsung terlihat ketika kita membaca siapa saja penyusun buku ini. Buku ini disusun oleh dua orang yang berbeda latar belakang. Lenang Manggala sebagai penyair dan Marien Gadea seorang fotografer dari Spanyol. Dalam perjalanan nantinya, selain disuguhi puisi-puisi, kita juga akan disuguhi ilustrasi-ilustrasi foto dari seorang wanita berkebangsaan Spanyol itu. Selain beberapa keunikan sebelum kalimat ini, ada keunikan lain dalam pengemasan buku ini. Ketika melakukan perjalanan (pembacaan) buku ini, kita akan dituntun dengan bingkai cerita yang menghubungkan satu puisi dengan puisi lainnya. Puisi-puisi yang ditampilkan dihubungkan dengan bingkai cerita dari awal sampai larik terakhir, agar saling berkelindan antara satu dan lainnya. Sehingga buku ini terlihat sebagai sebuah karya yang utuh.

Namun bagaimanapun juga, pembaca diberi kebebasan apakah akan memaknainya secara utuh atau puisi demi puisi yang ada. Tetapi yang jelas, bingkai cerita yang ada juga mampu menuntun pembaca dalam perjalanannya mencapai ruang makna. Namun perlu digarisbawahi, bahwa tugas bingkai cerita ini hanyalah penuntun, tanpa mencederai kebebasan pembaca untuk menginterpretasi makna puisi-puisi di dalamnya.

Lenang Manggala, penulis kumpulan puisi ini, dengan segala upayanya, berani melakukan kebaruan dalam pengemasan sebuah buku kumpulan puisi. Kebaruan seperti ini saya rasa perlu dilakukan agar karya seorang penulis memiliki keunikan tersendiri dari penulis lainnya.

Baiklah, mari kita melanjutkan perjalanan (pembacaan) buku kumpulan puisi “PER[T]EMPU[R]AN” ini.

Menyoal tema yang diangkat, secara umum buku kumpulan puisi ini berangkat dari sosok yang seperti tidak pernah kering menjadi lahan bagi kreativitas penyair di jagad raya ini: perempuan.

Dalam buku kumpulan puisi ini, kita diajak untuk mengikuti sebuah obrolan dua tokoh─seorang pria dan seorang wanita─dalam bingkai cerita yang seperti saling berbalas puisi untuk mengungkapkan perasaan-perasaannya. Di sini, saya rasa Lenang cukup baik dalam berposisi sebagai dua tokoh yang berbeda itu.

Tema-tema umum yang menguasai memang tidak jauh dari hal-hal seperti percintaan atau perpisahan. Namun secara khusus, muncul juga puisi-puisi yang mencoba mengangkat tema-tema lain seperti politik atau sosial, dan bahkan juga ada yang coba menyinggung mengenai isu pelanggaran HAM yang pernah terjadi bertahun-tahun silam. Coba kita simak puisi berjudul “Gadis Kecil dengan Payung Hitam Berdiri di Bahu Jalan”:

Gadis kecil dengan payung

hitam, berdiri di bahu

jalan

Matanya raut sedih

Ada duka yang coba

ditanak hingga mendidih

Gerimis sudah lama reda

Payung hitam masih

menjulang di tangannya

Badannya kuyup

Terdengar orkestra

kelengangan sayup-sayup.

Ditengoknya kancing

bajunya yang terbuka

Ada luka nganga di tanah

kelahirannya

Jika kita membaca puisi di atas, mungkin tafsir satu pembaca dengan pembaca lainnya bisa saja masih beragam. Tapi kemudian, kita akan bertemu dengan bingkai cerita setelah puisi tersebut. Bingkai ini setidaknya akan menuntun kita tentang apa yang dimaksudkan penyair dalam puisinya di atas. Coba kita simak kutipan bingkai ceritanya seperti berikut:

… “Eh, ngomong-ngomong, kenapa dengan gadis kecil itu?” tanyanya dengan raut wajah yang mendadak serius. Aku tersentak. Pikiranku sempat terserak. Sejenak aku terdiam, puisi tadi kubaca ulang.

“Emmmmh. Entahlah. Puisi itu kutulis bulan Mei yang lalu. Di bulan itu, banyak sekali hal buruk yang terjadi di tahun-tahun yang telah lalu. Tapi asal kau tahu, jika hal buruk yang terjadi bertahun-tahun yang lalu itu, tidak segera diselesaikan, ini akan terus berimbas hingga di masa-masa yang akan datang. Dalam pandanganku, ini adalah luka yang luar biasa bagi siapapun, selama belum terselesaikannya kasus itu. Dan,”

“Ah. Sudah-sudah. Nanti kau malah ikut dihilang-kan juga. Nanti siapa dong yang membacakanku puisi? Hahahaha,” katanya renyah setengah menggoda. Dengan terpaksa, kutahan beberapa penjelasan yang sebenarnya sangat ingin kusampaikan padanya.

Tanda-tanda yang ada pada puisi dan juga pada bingkai cerita tersebut, pada akhirnya menuntun kita pada makna yang sesungguhnya ingin disampaikan penyair. Saya rasa puisi itu hendak mengangkat pelanggaran HAM yang pernah terjadi pada bulan Mei beberapa tahun lalu. Maka dari itulah, mengapa saya katakan bahwa bingkai cerita yang ada juga mampu menuntun pembaca dalam perjalanannya mencapai ruang makna.

Pada akhirnya, apabila buku kumpulan puisi ini telah sampai di hadapan Anda, bersiaplah untuk menyelami kegelisah-risauan yang ada. Saya bukanlah pemandu perjalanan yang baik, jadi saya sarankan umtuk menikmati sendiri perjalanan yang bisa Anda lakukan dalam buku ini.

Dengan hadirnya buku ini, Lenang Manggala saya rasa salah satu dari sedikit penyair yang berani mencoba melakukan kebaruan dalam hal penerbitan buku kumpulan puisi. Ia berani bereksperimen dengan menghadirkan prosa, puisi, dan fotografi dalam satu buku, yang memaksa kita menikmati setiap sajiannya sampai halaman terakhir. Selamat melakukan perjalanan!

Rp50.000

PER[T]EMPU[R]AN

SKU 5b6b8c11e595 Categories , Tag

Deskripsi

Buku bersampul putih dengan gambar perempuan itu, terlihat begitu manis. Tampilan manis sampul buku ini seakan begitu cocok jika menjadi “pintu masuk” untuk sebuah kumpulan puisi. Kita masuk, membaca larik demi larik, seperti sedang melakukan perjalanan dalam lorong yang menuju ruang makna. Dan sampul buku putih-manis ini, menjadi pintu yang cukup bagus untuk mengawali perjalanan kita.

Keunikan buku ini bisa langsung terlihat ketika kita membaca siapa saja penyusun buku ini. Buku ini disusun oleh dua orang yang berbeda latar belakang. Lenang Manggala sebagai penyair dan Marien Gadea seorang fotografer dari Spanyol. Dalam perjalanan nantinya, selain disuguhi puisi-puisi, kita juga akan disuguhi ilustrasi-ilustrasi foto dari seorang wanita berkebangsaan Spanyol itu. Selain beberapa keunikan sebelum kalimat ini, ada keunikan lain dalam pengemasan buku ini. Ketika melakukan perjalanan (pembacaan) buku ini, kita akan dituntun dengan bingkai cerita yang menghubungkan satu puisi dengan puisi lainnya. Puisi-puisi yang ditampilkan dihubungkan dengan bingkai cerita dari awal sampai larik terakhir, agar saling berkelindan antara satu dan lainnya. Sehingga buku ini terlihat sebagai sebuah karya yang utuh.

Namun bagaimanapun juga, pembaca diberi kebebasan apakah akan memaknainya secara utuh atau puisi demi puisi yang ada. Tetapi yang jelas, bingkai cerita yang ada juga mampu menuntun pembaca dalam perjalanannya mencapai ruang makna. Namun perlu digarisbawahi, bahwa tugas bingkai cerita ini hanyalah penuntun, tanpa mencederai kebebasan pembaca untuk menginterpretasi makna puisi-puisi di dalamnya.

Lenang Manggala, penulis kumpulan puisi ini, dengan segala upayanya, berani melakukan kebaruan dalam pengemasan sebuah buku kumpulan puisi. Kebaruan seperti ini saya rasa perlu dilakukan agar karya seorang penulis memiliki keunikan tersendiri dari penulis lainnya.

Baiklah, mari kita melanjutkan perjalanan (pembacaan) buku kumpulan puisi “PER[T]EMPU[R]AN” ini.

Menyoal tema yang diangkat, secara umum buku kumpulan puisi ini berangkat dari sosok yang seperti tidak pernah kering menjadi lahan bagi kreativitas penyair di jagad raya ini: perempuan.

Dalam buku kumpulan puisi ini, kita diajak untuk mengikuti sebuah obrolan dua tokoh─seorang pria dan seorang wanita─dalam bingkai cerita yang seperti saling berbalas puisi untuk mengungkapkan perasaan-perasaannya. Di sini, saya rasa Lenang cukup baik dalam berposisi sebagai dua tokoh yang berbeda itu.

Tema-tema umum yang menguasai memang tidak jauh dari hal-hal seperti percintaan atau perpisahan. Namun secara khusus, muncul juga puisi-puisi yang mencoba mengangkat tema-tema lain seperti politik atau sosial, dan bahkan juga ada yang coba menyinggung mengenai isu pelanggaran HAM yang pernah terjadi bertahun-tahun silam. Coba kita simak puisi berjudul “Gadis Kecil dengan Payung Hitam Berdiri di Bahu Jalan”:

Gadis kecil dengan payung

hitam, berdiri di bahu

jalan

Matanya raut sedih

Ada duka yang coba

ditanak hingga mendidih

Gerimis sudah lama reda

Payung hitam masih

menjulang di tangannya

Badannya kuyup

Terdengar orkestra

kelengangan sayup-sayup.

Ditengoknya kancing

bajunya yang terbuka

Ada luka nganga di tanah

kelahirannya

Jika kita membaca puisi di atas, mungkin tafsir satu pembaca dengan pembaca lainnya bisa saja masih beragam. Tapi kemudian, kita akan bertemu dengan bingkai cerita setelah puisi tersebut. Bingkai ini setidaknya akan menuntun kita tentang apa yang dimaksudkan penyair dalam puisinya di atas. Coba kita simak kutipan bingkai ceritanya seperti berikut:

… “Eh, ngomong-ngomong, kenapa dengan gadis kecil itu?” tanyanya dengan raut wajah yang mendadak serius. Aku tersentak. Pikiranku sempat terserak. Sejenak aku terdiam, puisi tadi kubaca ulang.

“Emmmmh. Entahlah. Puisi itu kutulis bulan Mei yang lalu. Di bulan itu, banyak sekali hal buruk yang terjadi di tahun-tahun yang telah lalu. Tapi asal kau tahu, jika hal buruk yang terjadi bertahun-tahun yang lalu itu, tidak segera diselesaikan, ini akan terus berimbas hingga di masa-masa yang akan datang. Dalam pandanganku, ini adalah luka yang luar biasa bagi siapapun, selama belum terselesaikannya kasus itu. Dan,”

“Ah. Sudah-sudah. Nanti kau malah ikut dihilang-kan juga. Nanti siapa dong yang membacakanku puisi? Hahahaha,” katanya renyah setengah menggoda. Dengan terpaksa, kutahan beberapa penjelasan yang sebenarnya sangat ingin kusampaikan padanya.

Tanda-tanda yang ada pada puisi dan juga pada bingkai cerita tersebut, pada akhirnya menuntun kita pada makna yang sesungguhnya ingin disampaikan penyair. Saya rasa puisi itu hendak mengangkat pelanggaran HAM yang pernah terjadi pada bulan Mei beberapa tahun lalu. Maka dari itulah, mengapa saya katakan bahwa bingkai cerita yang ada juga mampu menuntun pembaca dalam perjalanannya mencapai ruang makna.

Pada akhirnya, apabila buku kumpulan puisi ini telah sampai di hadapan Anda, bersiaplah untuk menyelami kegelisah-risauan yang ada. Saya bukanlah pemandu perjalanan yang baik, jadi saya sarankan umtuk menikmati sendiri perjalanan yang bisa Anda lakukan dalam buku ini.

Dengan hadirnya buku ini, Lenang Manggala saya rasa salah satu dari sedikit penyair yang berani mencoba melakukan kebaruan dalam hal penerbitan buku kumpulan puisi. Ia berani bereksperimen dengan menghadirkan prosa, puisi, dan fotografi dalam satu buku, yang memaksa kita menikmati setiap sajiannya sampai halaman terakhir. Selamat melakukan perjalanan!

Informasi Tambahan

Berat 250 gram

Ulasan

Belum ada ulasan.

Jadilah yang pertama memberikan ulasan “PER[T]EMPU[R]AN”

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

1
    1
    Keranjang Belanja Anda
    Hapus Item
    SELENDANG SEKAR LANGIT
    Price: Rp40.000
    Qty: 1
    Rp40.000